Minggu, 19 Juni 2016

Konsep Novel "KAPAL TENGGELAM DI LAUT AGRABINTA"







Stuonhahooyet trowbarhoya geryehn qardhan dhusdhowrha,dhusdhowrham
Bhitubudhan Rowbarhoya bhothubudhan dhusdhowrha,dhusdhowrham
Holiazst howtro biyhemar barqarazst oloyishethan
Mangkorow olo tarhasthan barqhoroshban dhusdhowrham
Stuonahhoowyetrow baroyha geryenqardan dhusdhowrha,dusdhowrham
***


 Syair lagu Stuonahooyet (Dhusdhowrha) by Haydeh terus diputar secara berulang seorang wanita yang duduk dibelakang setir. Wanita itu baru saja mendapat kabar tentang kekasihnya menghilang di dasar samudra dihantam badai. Ia baru menyadari jika kekasihnya itu memang sudah tiada. Dimana dia, bagaimana nasibnya? Apakah kekasihnya itu termasuk orang yang diselamatkan, atau ditelan badai? Wanita itu mengeksplor segala rangkaian kejadian yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bagaimana bencana itu bisa terjadi demikian cepat, setelah baru saja ia bisa memahami arti cinta yang sesungguhnya. Seperti apa yang dirasakan kekasihnya saat kapal yang ditumpanginya itu, digulung dan diseret gelombang yang sanggup melemparkannya keberbagai arah. Entah di perairan mana didamparkannya. Wanita itu jadi ingin merasakan seperti manusia perahu, berlayar ke Pulau Crismast. Hingga ia bisa merasakan; bagaimana rasanya berhadapan dengan penjaga perbatasan, saat menolak kapalnya berlabuh membuat kapalnya itu harus kembali ke tengah samudra. Di tengah samudra semua penumpang mendapat kesulitan, hingga mereka merelakan menjadi permainan amuk gelombang selama berhari-hari. Ya, ia igin sekali merasakan dijemput kematian ditengah lautan lepas, itu seperti apa. Karena disaat seperti itulah ia akan berdiri tegak menantang badai. Agar ia juga bisa tenggelam menyusul kekasihnya.
Pertanyaan demi pertanyaan terus melekat menekan raut wajah wanita itu. Bola mata kuyunya makin meredup menahan kepedihan. Rambut panjangnya bergerai tak beraturan. Bibir tebalnya dibiarkan terpecah-pecah. Tak hiraukan juga perut keroncongan menahan lapar. Bahkan sudah tak perdulikan slayer pembelit leher jatuh menghalangi gigi persneleng yang kadang, dibiarkannya terinjak kaki kirinya. Wajah ayunya menjadi buram seburam lampu jalanan yang dirasakannya, semakin meredup. Baginya dunia telah mati.  Sejenak ia merasakan bagaimana kematian itu menimpa kekasihnya. Tiba-tiba wanita itu membantingkan setirnya.
 “Kekasih…! aku harus menemukanmu…!”  Teriaknya, berkejaran dengan air mata yang terus menghujan.
Wanita itu bagai berjalan dalam kematian. Sudah dua hari dua malam ia mengukur jalan. Dari Jakarta menuju luar kota dan kembali lagi, tidak tentu tujuan. Di sepertiga malam, dikilo meter sembilan puluh delapan Ci-pularang. Wanita itu meluruskan kaki kanan, menambah kecepatannya meninggalkan pintu toll dan, berbelok menuju luar kota arah Ciwidey.
Embun pagi baru saja turun dari pegunungan, menyebar pada perkebunan strobery, pesawahan, pedesaan dan bukit barisan. Kemudian menyemburat di tikungan, tanjakan dan turunan yang dilaluinya memasuki wilayah Situ Patenggang, menuju garis laut. Nyala, mati sorot lampu bim jadi permainannya saat menyalib, kendaraan yang menghalangi lepas pandangnya.
Ia merupakan seorang wanita yang membutuhkan suasana lengang dan kosong. Dalam kekosongan ia dapat melambungkan nada cintanya lewat irama lagu-lagu Persia. Ia juga menyesalkan pada perjalanan sang waktu yang begitu cepat berlalu. Andaikan saja sang waktu bisa memutar ulang bersama sang kekasih. Mungkin kesepian panjangnya itu tidak akan menghampiri seorang wanita yang, akan memasuki usia kepala empat.
Dan seorang perempuan itu adalah, aku. Aku Liane Kararena Asban, yang tengah mereka ulang tentang sebuah peristiwa terjadinya kapal tenggelam, di perairan laut Agrabinta.

***

“Tell me please, where are you now honey?”
Satu tahun lalu Kararena mendesak kekasihnya, yang berasal dari sebuah bangsa keturunan sebagai pengguna kalendar surya. Sudah dua bulan satu hari laki-laki itu menghilang, semenjak empat orang temannya datang menjemput dari apartemennya.
Salah seorangnya bernama Sanif, tinggalnya di daerah kaki pegunungan Alborz sebuah area Metropolitan sebagai pusat seni, kompleks istana yang memiliki jaringan jalan tol, tak tertandingi di Asia Barat. Memiliki Menara setinggi empat ratus tiga puluh lima meter, sebagai urutan ke enam tertinggi di dunia setelah Mosko, Toronto, Shianghai, Guangzhuo dan Tokyo. Hanya berjarak dua puluh kilo meter dari tempat tinggal orang tua Rahul, di Teheran.  
Tentunya menara Milad akan menjadi urutan ke tujuh, jika Indonesia bisa kembali meneruskan bangunan menaranya yang tertunda pada tahun 1997. Sebelumnya Rahul mengenal Sanif disebuah cafĂ© Sabang, Jakarta Pusat,  atas jasa Windu. Seorang laki-laki berusia tiga puluh tiga tahun, bermata sipit tubuhnya agak kurus berkulit putih kering, sekering tawa dan tatapannya juga sikap arogancenya.
Sementara Sanif memiliki wajah dibawah rata-rata, berkulit gelap tidak bening, postur tubuhnya agak kurus tidak semampai. Dan ia hanya menguasai bahasa parsi, tidak mengenal bahasa lain. Sudah pasti dari kalkulasi fisik, Sanif banyak kekurangan dibanding para pendatang yang terletak di Asia Barat Daya itu. Namun dibalik kekurangan, Sanif merupakan seorang pemurah hati berjiwa mulya. Suka menolong sebangsa dan setanah air.
Termasuk pada Rahul sipemilik wajah melankolis, seorang yang penurut terhadap kakaknya, merupakan seorang pemuda yang tidak bisa lepas sendirian di Negara orang, tanpa sang kakak. Begitupun kakaknya. Mereka selisih umur enam tahun. Raash berusia tiga puluh satu tahun. Dari raut mukanya yang hampir serupa, membuat sebagian orang menilai, jika mereka berdua merupakan saudara kembar. Karakter wajahnya seperti pinang dibelah dua, tidak bisa dibedakan.
Padahal menurut Kararena jelas,  berbeda. Rahul bermata lebih sayu dan tenang, bulu mata lentiknya menambah daya tatap lebih berkilau. Alis tebalnya bagai semut berbaris, membentuk lengkungan bulan sabit. Bibirnya lebih bergelombang disertai bentuk wajah ovalnya, dihiasi belahan dagu yang tipis. Postur tubuhnya lebih atletis dan tegap. Jika berjalan bahunya sedikit menekuk, jemari lengannya agak mengepal ke dalam dan terlihat lebih jantan. Ia juga memiliki warna kulit lebih langsat dan bening, dilengkapi bulu-bulu halus yang indah dipandang jika mengenakan kemeja bagian atasnya, terbuka.
Namun Rahul tidak pernah mau memamerkan bulu-bulu halusnya, bagi dia merupakan sisi kelemahannya, bahkan cenderung ia merasa malu. Memang sulit untuk memilih diantara dua pemuda yang memiliki tinggi badan setara. Saratus tujuh puluh tujuh centi meter. Masing-masing memiliki intelektual dan kharisma, sebagai garis keturunan dari peninggalan Kerajaan Cyrus Agung.
Sementara Raash memiliki kulit lebih putih, giginya rata dan indah. Bentuk bibirnya lebih tipis, tatap matanya diliputi kecemasan. Sikapnya pun kaku sedikit pendiam dan lebih serius terkesan angkuh, tidak love profile seperti Rahul.
Tentunya Raash lebih lihai memetik gitar, petikan jemarinya mampu menyirap penglihatan para wanita muda. Suaranyapun bening, berpribasi enak didengar, dan mampu mengejar nada setinggi empat oktaf. Dari cara pendekatannya terhadap wanita, Kararena mengira Rahul lebih bajingan daripada Raash. Ternyata perkiraannya salah besar.
“You not know where I’m stay here now. Away from your town.” Dengan bahasa inggris yang tidak lancar, Rahul menyembunyikan suatu Rahasia yang tidak boleh diketahui Kararena.
“If you still in my country, sure! i will found you.“ Jawab Kararena dengan bahasa inggris yang tidak pasih juga.
Mendengar Kararena menantang akan menyusulnya. Rahul memberikan telepon genggamnya pada Raash. Suara Rahul terdengar berbahasa parsi, mempersoalkan rencana kekasihnya.
“Lion, sure! you not know our where stay, far away! You can not came to me and Rahul.” Ucap Raash bersungguh-sungguh. Ia memanggil Kararena Lion dari nama aslinya Liane. Ia menegaskan lagi agar Kararena tidak menyusulnya, karena tidak mungkin ketemu. Kararena mempertegas lagi bahwa ia sudah menyewa sebuah mobil yang sudah dibayar dengan harga mahal. Strategi demikian rupanya membuat Rahul dan Raash berpikir. Karena selama ini keduanya tidak pernah mengetahui jika Kararena bisa mengendarai mobil sendiri.  “Are you sure?” sambung Raash tidak percaya.
“Yes, sure!”
Jam tujuh malam, Rahul dan Raash baru memutuskan Kararena boleh menemuinya. Padahal Kararena sendiri telah berbohong, mengenai penyewaan mobil. Persisnya Kararena hanya sekedar ingin tahu keberadaan mereka yang sesungguhnya.
Pada akhirnya Kararena tersibukan, mondar mandir mencari rentalan mobil ke beberapa tempat yang memang tidak segampang itu melepas kunci. Tentunya pemilik rental meragukan status tempat tinggalnya di Apartemen, dimana penghuninya bermayoritas para pendatang dari berbagai daerah, termasuk tempat persinggahan para people smuggler  yang datang dari berbagai Negara asal, Timur Tengah.
Selain itu tentu saja maraknya kasus mobil rentalan, sering diperjual belikan. Payah juga baru sekitar jam Sembilan seperempat malam, Kararena baru mendapatkan mobil sewaan. Itupun, dari seorang teman dekatnya yang memiliki mobil sedan kecil warna merah menyala.
 “Hey, lion! where are you now? You sure, can will come to my adrres, Cisarua?” Suara Raash via Hp memastikan kedatangan Kararena.
“Yes, wait in one and half hour, I’ll be there with you.” Jawab Kararena mengekpresikan keriangannya yang tiada terhingga.


***



BERSAMBUNG